Selasa, 19 Oktober 2010

Kompetisi Nokia N8 : Aku sungguh terlambat!!! : ((

Oleh      :      Handi Budiman



Sungguh saya kecewa berat malam ini. Saya berniat mengikuti kompetisi penulisan naskah film pendek Nokia N8 untuk melanjutkan film pendek milik Joko Anwar yang belum selesai. Namun, sayangnya saya terlambat memasukkan ide tersebut karena kontes telah ditutup kemarin. Seandainya saya lebih teliti lagi membaca waktu penutupan kontes.
Sesungguhnya, saya sudah mendapatkan ide tersebut sejak beberapa hari yang lalu. Namun, saya memilih untuk mengikuti saran penulis-penulis ternama untuk memendam ide tersebut hingga sepenuhnya matang. Kesibukan di kantor dan pabrik mengurungkan niat saya untuk meng-upload ide tersebut. Kini, hanya rasa kecewa dan penyesalan yang tersisa. Seandainya saya meng-upload ide tersebut kemarin lusa.
Saya memang tidak seratus persen yakin akan memenangkan kompetisi tersebut. Namun, saya optimis ide naskah saya cukup oke. Adapun, ide saya adalah :

Storyline :

Tanpa sengaja, Nokia N8 milik Novi tertinggal di meja restoran. Donny mengambil Nokia N8 milik Novi. Beberapa menit kemudian, Novi kembali ke restoran untuk mencari Nokia N8 miliknya. Tiba-tiba, Donny muncul untuk mengembalikan Nokia N8 milik Novi. Tanpa sengaja, Novi melihat bahwa Donny juga menggunakan Nokia N8. Keduanya berkenalan dan bertukar nomor ponsel.


Script lanjutan :

Kebetulan bisa jadi bagian dari takdir. Namun, bukan kebetulan jika mereka memiliki Nokia N8. Nokia…Connecting People.


Damn….saya sudah membayangkan bagaimana script milik saya ini menjadi sebuah iklan Nokia. Kini, impian tersebut hancur dan saya harus menunggu kesempatan lainnya untuk mengembangkan hobi saya. :  ((



Senin, 18 Oktober 2010

The Other Guys : Dark Horse Movie of The Year




Oleh   :  Handi Budiman



Jika tahun lalu “The Hangover” merupakan Dark Horse Movie of The Year, maka menurut saya, tahun ini gelar tersebut disandang “The Other Guys”, film yang dibintangi duo Will Ferrell dan Mark Wahlberg.
Film ini menceritakan tentang detektif Allen (Will Ferrell) yang lebih tertarik dengan tugas administrasi kepolisian ketimbang beraksi di lapangan. Berbeda dengan Allen, detektif Terry (Mark Wahlberg) justru sangat ingin diberi kesempatan untuk menyelesaikan sebuah kasus menarik di lapangan. Terlebih lagi, ia harus membersihkan namanya ketika ia tidak sengaja menembak pemain basket, Derek Jeter di masa lalu. Keduanya selalu menjadi bahan ejekan teman-teman satu divisinya. Di saat mereka membutuhkan sebuah pengakuan, mereka justru terjebak dalam sebuah kasus rumit yang justru membuat kekonyolan mereka lebih menonjol ketimbang kepintaran mereka.
Menurut saya, film ini merupakan salah satu film komedi terbaik Hollywood tahun ini. Kelucuan yang disuguhkan dalam film ini benar-benar gokil! Terlebih lagi, kelucuan tersebut justru berjalan beriringan dengan pengenalan dan pendalaman terhadap karakter Allen dan Terry sehingga kelucuan tersebut tidak berkesan dibuat-buat. Kejutan utama yang saya dapatkan ketika menyaksikan film ini adalah chemistry yang kuat antara Mark Wahlberg dan Will Ferrell. Padahal, keduanya lebih sering bermain di genre film yang berbeda. Mark lebih identik dengan film-film action. Sedangkan, Will lebih identik dengan film komedi. Kekuatan utama dari film ini adalah temanya yang tidak sederhana namun disajikan dengan selipan unsur komedi dan sarkasme tanpa menghilangkan esensi utama cerita.
Adegan yang paling membekas dalam ingatan saya adalah ekspresi Terry yang “melemas” setiap kali melihat istri Allen (Eva Mendes) yang hot; dan tentu saja adegan ketika ibu mertua Allen menjadi “pesan berjalan” bagi Allen dan istrinya.
Mampukah Allen dan Terry menyelesaikan kasus rumit yang membahayakan nyawa mereka sendiri dan mendapatkan pengakuan dari rekan-rekan satu divisinya? Jawabannya hanya akan Anda temukan dalam ending film berdurasi 107 menit yang juga menampilkan Samuel L. Jackson dan Dwayne Johnson sebagai cameo ini.


Score       :      8  /  10

Going The Distance : Ketika jarak berbicara dalam cinta






Oleh  :   Handi Budiman




Di tengah kepadatan jam kerja, terbatasnya waktu di akhir pekan, dan semakin banyaknya film yang beredar tiap minggunya, saya hampir saja melewatkan waktu untuk menonton film ini. Tadinya, saya berpikir bahwa film ini hanya merupakan film komedi romantis biasa. Saya juga meragukan chemistry yang terjalin antara Drew Barrymore dan Justin Long. Seperti ada yang janggal melihat mereka berpasangan di poster film ini. Ternyata…dugaan saya salah total.
Film ini menceritakan asmara yang terjalin antara Erin (Drew Barrymore) dan Garrett (Justin Long). Enam minggu kebersamaan mereka membuahkan cinta. Sayangnya, Erin harus meninggalkan New York dan kembali ke San Fransisco untuk melanjutkan studinya yang tertunda. Karena saling cinta, mereka memutuskan untuk meneruskan hubungan walau jarak memisahkan.
Menurut saya, film ini adalah salah satu film komedi romantis Hollywood terbaik tahun ini. Kekuatan film ini terletak pada keberhasilannya dalam mengusung tema percintaan yang mulai terasa biasa, yaitu hubungan jarak jauh dengan cara yang tidak biasa dan unik. Selain itu, chemistry dan akting Drew Barrymore dan Justin Long sangat kuat. Keduanya seperti saling melengkapi satu sama lain. Sepanjang film, saya bisa merasakan kuatnya cinta antara Erin dan Garrett. Prediksi saya, Drew Barrymore bisa mendapatkan setidaknya nominasi Golden Globe tahun ini untuk perannya dalam film ini. Humor yang disajikan dalam film ini agak kasar namun mengena dan tepat sasaran alias tidak jayus. Selain itu, kehadiran Christina Applegate yang memerankan Corinne, kakak Erin membuat film ini menjadi lebih berkarakter.
Akankah Erin dan Garrett bersatu? Mampukah mereka mengatasi isu utama dalam hubungan jarak jauh, yaitu rasa kesepian karena jauh dari pasangan? Jawabannya hanya akan Anda dapatkan pada ending film berdurasi 109 menit yang disutradarai Nanette Burstein ini. Selamat menonton, semoga terhibur!


Score       :     7,5 / 10

Selasa, 12 Oktober 2010

Step Up 3-D : Saved by The Dance




Oleh           :       Handi  Budiman


Ketika Step-Up 3D rilis Agustus lalu sebagai film dance pertama yang hadir dalam format 3D, saya sudah berjanji pada diri sendiri untuk menonton versi 3D-nya. Adalah rasa penasaran apa jadinya efek 3D dalam sebuah film dance yang membuat saya pada akhirnya memutuskan untuk menonton film ini. Ekspektasi saya terpuaskan. Sepanjang film saya begitu terpukau dengan gerakan dance dalam format 3D. Belum lagi, special effect tambahan yang disuguhkan, seperti adegan “Dance in Bubbles” di awal film dan “Kissing in Slurpee Rains” di pertengahan film.
Film ini mengisahkan tentang grup dance Pirates yang didirikan oleh Luke (Rick Malambri) yang sangat ingin menjuarai World Dance Competition. Tujuannya tidak lain tidak bukan untuk mempertahankan Vault, sebuah bangunan tua yang dijadikan tempat latihan sekaligus tempat tinggal bagi mereka yang sangat menyukai dance. Saingan berat grup Pirates adalah grup Samurai yang dipimpin oleh Julien. Beruntung, dalam perjalanan menuju kejuaraan, Luke bertemu dengan Moose (Adam Sevani) dan Natalie (Sharni Vinson); dua penari yang sangat berbakat.
Magnet utama dalam film ini tentu saja terletak pada dance. Bahkan, di sekuel kedua dari film yang disutradarai Jon Chu ini, disuguhkan gerakan dance yang lebih beragam dan memukau ketimbang prekuelnya. Hanya saja, jalan cerita, alur, dan screenplay film ini lebih buruk ketimbang prekuel pertamanya yang dibintangi Channing Tatum beberapa tahun silam. Cerita yang disajikan begitu dangkal dan mudah ditebak. Twist yang tercipta di pertengahan film tidak banyak membantu.
Mampukah Luke membawa Pirates menjuarai World Dance Competition dengan bantuan Moose dan Natalie? Jawabannya hanya akan Anda temukan dalam ending film berdurasi 97 menit ini. Selamat menonton!


Score               :           7    /  10


Sabtu, 02 Oktober 2010

The Legend of Guardians : The Owl of Ga 'Hoole' : Keteguhan Hati Soren



Oleh   :   Handi  Budiman



Film Legend of The Guardians : The Owls of Ga’Hoole’ mengisahkan tentang Soren, burung hantu muda kelas Tyto yang idealis. Ia sangat menyukai cerita kepahlawanan pengawal Ga’Hoole yang kerap diceritakan ayahnya. Berbeda dengan Soren, kakaknya, Kludd justru tipikal burung hantu muda yang realis dan ambisius. Suatu ketika, keduanya diculik oleh kelompok Pure Ones yang suka memperbudak burung hantu muda. Bersama Gylief, burung hantu mungil, Soren berhasil meloloskan diri dan menemukan Pohon Great Ga’Hoole. Lalu, ia menceritakan rencana jahat kelompok Pure Ones kepada Kerajaan Burung Hantu. Sementara itu, Kludd justru memilih untuk mengikuti kelompok Pure Ones. 
Seluruh formula wajib untuk film animasi yang baik ada dalam film ini. Sinematografi yang luar biasa untuk ukuran studio film di luar Pixar dan Disney, dalamnya emosi yang diberikan pengisi suara, karakteristik dan chemistry yang kuat antarkarakter, serta pesan moral dan nilai kepahlawanan yang sangat baik. Hanya saja, saya merasa bahwa film ini seperti kehilangan faktor X-nya, terutama pada awal film. Namun, pada pertengahan film menjelang klimaks dan ending, film ini berhasil menunjukkan bahwa ia bukanlah film animasi sembarangan dan patut diperhitungkan. Adegan yang paling saya sukai adalah ketika Soren belajar terbang menembus badai dengan mengikuti insting dan hatinya. Butiran-butiran air yang seolah-olah melekat pada kepak sayapnya luar biasa indah.
Klimaks film ini tentu saja terletak pada pertempuran antara Kerajaan Burung Hantu Ga’Hoole dengan kelompok Pure Ones. Kelompok manakah yang akan menang? Akankah Soren bertemu kembali dengan keluarganya? Bagaimanakah nasib Kludd? Jawabannya akan Anda temukan dalam film keluaran Warner Bros Pictures yang disutradarai oleh Zack Snyder ini. Selamat menonton!



Score               :          7,5   /  10

Wall Street : Money Never Sleeps : Drama Kehidupan dengan Latar Belakang Wall Street





Oleh      :    Handi  Budiman


“Wall Street is not about money. It’s about game between people.” Penggalan dialog yang dilontarkan Gordon Gekko (Michael Douglas) tersebut merupakan inti dari sekuel film Wall Street yang dirilis 23 tahun silam.
Film ini bercerita tentang Gordon yang baru keluar dari penjara. Ia ingin memperbaiki hubungan dengan putrinya, Winnie (Carey Mulligan) melalui bantuan kekasih putrinya, Jacob (Shila LaBeouf). Kehidupan Jacob sama rumitnya dengan kehidupan Gordon. Ia seorang penjual saham idealis yang suka berspekulasi. Hanya saja, ia bukan manipulator kelas kakap seperti calon mertuanya.
Ketika melihat poster filmnya beberapa bulan lalu, saya memang berharap banyak dengan film ini. Harapan saya terkabul. Menurut saya, film ini adalah salah satu film terbaik tahun 2010. Screenplay yang sangat brilian dan smart. Bahkan, opening dan closing film ini yang mengetengahkan teori tentang bubbles sangat menarik. Dialog terfavorit saya adalah : “Money is like a Bitch. You don’t pay attention to her, she will be jealous and runaway.” Sungguh, saya sangat menjagokan film ini di ajang Oscar nanti.
Penyutradaraan Oliver Stone sangat brilian. Suasana sibuk dan kacau ketika harga saham berguguran di lantai bursa dipaparkan dengan sangat baik dan tidak berlebihan. Emosi yang diperlihatkan oleh para pembeli dan penjual saham terlihat begitu nyata.
Dari segi akting, saya belum pernah melihat sebuah film dengan kekuatan akting antarpemain yang begitu merata. Hebatnya lagi, saya merasakan chemistry antarpemain yang sangat besar. Akting Michael Douglas sangat brilian. Saya bisa melihat cahaya di matanya ketika ia mempromosikan buku karangannya dan berbicara tentang uang. Aktingnya mampu diimbangi dua pemain muda yang sedang naik daun, Shilla LaBeouf dan Carey Mulligan. Bahkan, Frank Langella yang berperan sebagai Lou, Susan Sarandon yang berperan sebagai Ibunda Jacob, dan Josh Brolin yang berperan sebagai Brett memberikan performa terbaik mereka. Dari kelima nama tersebut, saya rasa Michael Douglas, Carey Mulligan, dan Frank Langella layak mendapatkan (setidaknya) nominasi Oscar untuk perannya dalam film ini.
Bagaimanakah hubungan Gordon, Winnie, dan Jacob? Mampukah Winnie memaafkan kesalahan masa lalu ayahnya? Mampukah idealisme Jacob berjalan berdampingan dengan ambisinya? Temukan jawabannya dalam film berdurasi 133 menit yang sangat layak ditonton ini.



Score               :           9  /  10

Kamis, 30 September 2010

Manajer Cinta






Oleh  :  Handi Budiman



Saya ini termasuk orang yang mudah sekali terjebak dalam cinta. Saya sama sekali tidak mempunyai kriteria fisik ataupun kepribadian tertentu. Chemistry. Itulah yang selalu saya cari. Bahkan, karenanya, terkadang saya lupa bahwa jatuh cinta dan patah hati itu datang dalam bentuk satu paket.
Setidaknya, dibutuhkan satu tahun lebih bagi saya untuk melupakan seseorang yang pernah berarti dalam hidup saya. Itu pun belum berstatus pacar. Cape deh…Ya, batin saya memang lelah. Untungnya, saya rajin melepas endorfin di tempat gym. Tentu saja tidak melalui orgasme, melainkan olahraga. :p
Dua minggu lalu, saya berkenalan dengan seseorang. Saya memang sudah sering memperhatikannya di tempat gym. Beruntung, melalui social network, saya berhasil menemukannya. Singkat kata, kami bertukar Pin BB. Awalnya, pertemuan maya kami melalui BBM berjalan sangat lancar. Lama-kelamaan, intensitas pertemuan kami berkurang. Bahkan, pernah satu hari penuh kami tidak saling menyapa di dunia maya. Lambat-laun, dari status BBM-nya, saya curiga bahwa dia adalah orang yang super moody.
Dugaan saya terbukti. Suatu hari, status BBM-nya adalah “Makan siang nasi babi”.  Keisengan membuat saya mengirim pesan BBM,”Gak salah? Kok babi makan babi.” Lalu, dia membalas,”Semakin gue diemin, lo semakin menjadi.” Saya bertanya,”Menjadi apa?” Dia membalas,”Rese dan bawel ngomongnya.”
Saya sepenuhnya sadar bahwa candaan saya keterlaluan. Namun, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan karena kami sering sekali bercanda seperti itu dan dia baik-baik saja. Bahkan, dia biasa membalas candaan saya dengan candaan yang lebih menusuk hati.
Well, entah apa yang merasuki pikiran saya saat itu, tiba-tiba saja saya ingin mempraktekkan sebuah teori. Teori Manajemen Cinta. Saya ingin me-manage cinta, bukan cinta yang me-manage saya seperti yang sudah-sudah. Oleh karena itu, saya menghapus dia dari daftar BBM milik saya. Saya harus melindungi hati saya sebelum jatuh terlalu jauh. Lagi pula, dengan jadwal kerja yang padat di pabrik dan kantor, saya tidak punya waktu lagi untuk patah hati. Jujur, saya tidak yakin bahwa saya akan baik-baik saja. Setidaknya, saya sudah menjadi seorang manajer, posisi yang diimpikan banyak orang.  Bukan manajer kantoran. Manajer Cinta.



Minggu, 26 September 2010

The Last Exorcism : Pengujian Iman Seorang Pendeta



Oleh  :   Handi Budiman




Hampir saja saya memutuskan untuk tidak menonton film ini karena jenuh dengan film bertema serupa. Ironis, film ini justru membawa sesuatu yang baru dan segar untuk film bertema eksorsisme. Tahun lalu, saya dikejutkan dengan rilisnya film “Paranormal Activity”, sebuah film dokumenter horor yang sederhana namun mampu membawa pikiran saya ke atmosfer paranoid tingkat tinggi. Jika “Paranormal Activity” melihat dari sudut pandang keluarga yang diganggu oleh setan, maka “The Last Exorcism” melihat dari sudut pandang seorang pendeta yang terbiasa melakukan ritual pengusiran setan atau eksorsisme.
Bagian awal film mengisahkan sosok Pendeta Cotton Marcus (Patrick Fabian) di mata keluarga dan umatnya. Saya sangat menyukai bagian ini karena penyajiannya yang terkesan apa adanya dan tidak dibuat-buat. Bahkan, unsur komedi yang diselipkan di beberapa adegan wawancara sangat mengena. Selain itu, akting Patrick Fabian terlihat sangat natural.
Dalam film ini dikisahkan bagaimana Pendeta Marcus yang sebenarnya tidak mempercayai kasus dan ritual eksorsisme namun harus tetap menjalankannya sebagai tuntutan profesi, dihadapkan dengan sebuah kasus yang mungkin menguji imannya sebagai seorang Hamba Tuhan. Mampukah ia menyelesaikan kasus Nell, putri dari seorang petani bernama Louis Sweetzer di Louisiana yang diduga kerasukan setan Abalam? Anda akan menemukan jawabannya dalam ending film berdurasi 99 menit yang layak tonton ini. 


Score               :           7,5  /  10


Sabtu, 25 September 2010

Resident Evil 4 : After Life : Sebuah Sekuel yang Over Dramatis


Oleh  :  Handi Budiman



Ketika game Resident Evil rilis pertama kali untuk Sony Play Station, saya sangat excited untuk memainkannya. Sebaliknya, ketika filmnya rilis untuk pertama kali, hasilnya sangatlah jauh dari ekspektasi saya.
Film keempat dari Resident Evil yang diberi sub judul “After Life” ini mengisahkan Alice (Milla Jovovich) yang berangkat menuju Arcadia di Alaska, lokasi di mana para survivor dari T virus berada. Di sana, ia hanya berhasil menemukan Claire Redfield (Ali Larter). Ketika terbang dengan helicopter tak tentu arah dan tiba di Los Angeles, mereka bertemu dengan beberapa orang survivor di sebuah penjara yang belum berhasil ditembus para infektan. Di sana, mereka berusaha menyelamatkan diri mereka sambil memecahkan teka-teki di balik Arcadia.
Banyak sekali adegan slow motion ala The Matrix dalam film ini sehingga saya mendapat kesan bahwa film ini terlalu dramatis. Bahkan, pada adegan ketika Alice dan Claire melawan makhluk bertopeng dengan senjata gergaji raksasa di area kamar mandi, selama beberapa detik, saya mengira Ali Larter sedang menjadi Claire sekaligus membintangi iklan sampo.
Jika maksud Paul W.S. Anderson sebagai penulis adalah agar penonton yang bukan penggemar game Resident Evil dan belum menonton ketiga prekuel film ini bisa menangkap secara cepat inti sari kisah film ini, maka ia berhasil sebagai penulis. Namun, jika ia bermaksud sebaliknya, maka ia gagal karena jika dibanding ketiga prekuelnya, kompleksitas cerita film ini adalah yang terlemah. Bahkan, saya merasa sub judul “After Life” lebih cocok jika diganti dengan “Arcadia”.
Terlepas dari kelemahan yang ada, film ini masih menyajikan special effect yang baik. Dan saya menyukai proses ketika badan dua ekor anjing penjaga masing-masing terbelah menjadi dua.
Jika Anda adalah tipe penonton yang menganggap bahwa film yang baik adalah film dengan minim dialog dan banyak adegan action, maka film ini adalah film yang cocok untuk Anda. Namun, jika Anda adalah penonton yang lebih mementingkan “isi” dari sebuah film seperti saya, film ini bisa Anda lewatkan.



Score               :             5      /   10

Senin, 20 September 2010

Domba Kantor, Serigala Kantor, dan Serigala berbulu Domba Kantor





Oleh  :  Handi Budiman



Ekosistem itu bernama Kantor. Di sana, tinggallah tiga species utama, yaitu Domba Kantor (DK) , Serigala Kantor (SK), dan Serigala Berbulu Domba Kantor (SBDK). Mereka bekerja di bawah perintah Pemberi Tugas (PT). Setiap pagi, DK bangun lebih awal dan langsung bekerja. Sedangkan, SK akan pergi keluar untuk berburu tanpa kabar. Sementara itu, SBDK akan bangun paling awal tapi tidak langsung bekerja.
DK akan berkata “ya” jika diberi tugas dan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. SK akan berkata “tidak” dan terkadang pergi meninggalkan tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. SBDK akan berkata “ya” seraya tersenyum manis lalu menjelek-jelekkan PT di belakang. Karena terdesak, SBDK tidak segan-segan menyuruh DK untuk mengerjakan tugas yang dilimpahkan kepadanya.
Angka, tabel, dan grafik akan memenuhi layar monitor milik DK. Koran elektronik dengan variasi berita akan memenuhi layar monitor milik SK dan SBDK. Namun, ketika PT mendekat ke arah layar monitor milik SBDK, bunyi klik mouse akan terdengar. Dengan sigap, SBDK akan me-minimize koran elektronik di layar monitor miliknya hingga yang terlihat oleh PT hanyalah angka, tabel, dan grafik. Tidak lupa, SBDK akan memamerkan senyum termanis miliknya kepada PT.
Pada suatu hari, SBDK memfitnah DK di depan PT. Teguran keras dari PT kepada DK menjadi penanda bahwa PT lebih mempercayai SBDK ketimbang DK. Malam harinya, sembari menangis, DK berdoa agar diberikan kekuatan untuk melewati berbagai cobaan dalam hidupnya.
Doanya didengar oleh Direktur Keadilan Kantor (DKK) yang selama ini dikenal sebagai legenda kantor. Konon, DKK memiliki kekuatan sangat dahsyat. Hanya dengan menjentikkan jari, ia mampu melenyapkan species mana pun di Kantor. Dengan gerakan yang luwes dan bersahaja, DKK melangkah turun dari tempat persemediannya. DK, SK, dan SBDK berdiri di pojok ruangan Kantor. DK menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat terhadap DKK. SK terlihat amat sangat ketakutan. SBDK justru tersenyum luar biasa manis ke arah DKK.
“DK, angkat kepalamu. Janganlah kau malu untuk mengakui kemampuanmu! Selama ini aku melihat perjuangan kerasmu di Kantor. Mulai sekarang kau tidak akan menjadi DK yang hilang dan tersesat karena lingkungan lagi. Kau akan kuangkat menjadi penasehat utamaku,” ucap DKK lembut kepada DK.
“SK, rupanya kau bisa merasa takut juga, ya. Tenang saja, kau tidak akan kuhukum. Kau memang sering melanggar aturan Kantor tapi aku masih bisa melihat kejujuran di matamu. Kau bisa bekerja di posisimu semula,” ucap DKK tegas kepada SK.
“Bagaimana dengan saya, DKK?” tanya SBDK sambil tersipu malu.
“Kau, SBDK akan menerima ganjaran atas setiap perbuatanmu,” jawab DKK.
DKK menjentikkan telunjuk kanannya. “Kau akan kuubah menjadi patung selamat datang di Kantor. Setiap species baru yang lahir atau setiap pendatang harus meludahi patungmu terlebih dahulu agar bisa memasuki Kantor.”
SBDK terkejut. Namun, terlambat baginya untuk menjauh. Dalam sekejap, tubuhnya sudah mematung.

(Kamar Tidur, 20 September 2010, 22:22)

Minggu, 19 September 2010

Aftershock : Tragedi Sebuah Keluarga



Oleh : Handi Budiman


"Keluarga akan selalu menjadi keluarga." Sebuah dialog dalam film Aftershock garapan sutradara Feng Xiaogang merupakan inti sari dari film dengan latar belakang gempa bumi yang melanda Tangshan, China pada tahun 1976 ini.
Film ini mengisahkan bagaimana sebuah keputusan tersulit dalam hidup Yu Ni (diperankan dengan sangat brilian oleh Fan Xu) untuk menyelamatkan putranya, Fan Da, bukan putrinya, Fan Deng pasca gempa dahsyat yang menewaskan lebih dari 240.000 jiwa pada tahun 1976 di Tangshan . Tak terduga, di bawah reruntuhan, sang putri mendengar keputusan sang ibu. Fan Deng yang dikira tewas oleh sang ibu, terbangun di tengah tumpukan mayat. Lalu, ia diadopsi oleh sepasang suami istri anggota Tentara Pembebasan Rakyat. Hingga beranjak dewasa, Fan Deng masih terus dihantui oleh keputusan ibunya yang lebih memilih untuk menyelamatkan saudara kembarnya, Fan Da. Sementara itu, Fan Da yang cacat melanjutkan hidupnya bersama sang ibu. Takdir mempertemukan kedua kakak-adik ini ketika keduanya sama-sama menjadi relawan pada saat terjadi gempa bumi pada tahun 2008 di Sichuan. Haru biru pertemuan Yu Ni dengan putrinya yang ia kira telah tiada merupakan klimaks dari film berdurasi 135 menit ini.
Kekuatan utama dari film ini tentu saja terletak pada skenario adaptasi dari sebuah novel dengan judul sama yang menarik; penyutradaraan Feng yang brilian; akting para pemainnya yang sangat memukau, terutama akting Fan Xu; plot yang rapi; dan sinematografi yang menawan. Menurut saya, kelima unsur tersebut merupakan unsur utama yang harus ada dalam sebuah film yang baik. Bagian dari skenario yang paling membuat saya terharu adalah ketika Fan Da mengatakan kepada istrinya bahwa "Ibu telah melahirkan saya sebanyak tiga kali. Pertama adalah ketika ia melahirkan saya ke dunia ini. Kedua adalah ketika ia menyembuhkan saya yang divonis menderita pneumonia ketika baru lahir. Ketiga adalah ketika ia menyelamatkan saya dari gempa."
Jadi, tunggu apa lagi, segera tonton film ini di bioskop terdekat dan janganlah lupa untuk membawa sapu tangan atau membeli tisu sebelum masuk ke dalam bioskop. : )


Score       :     9 / 10